Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.
Keberhasilan pemuda Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallamdalam menjalankan usaha dagang ke Syam sangat berkesan bagi Sayyidah Khadijah Radhiyallahu ‘anha. Tidak menunggu lama, Khadijah segera mencari cara untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan putra Abdullah itu. Ia pun meminta bantuan Nafisah binti Munayyah untuk menjajaki apakah Muhammad mau menikah dengannya.
Berangkatlah Nafisah menemui Muhammad. Ia membuka percakapan, “Wahai Muhammad, apa yang menghalangimu untuk menikah?” “Saya belum punya bekal yang cukup untuk menikah,” jawabnya. Nafisah melanjutkan penjajakannya, “Kalau bekalmu sudah mencukupi, lalu engkau diajak menikah oleh seorang wanita yang cantik, kaya, terhormat, dan selevel, apakah engkau mau?” “Memang siapa wanita yang engkau maksud?,” tanya Nabi Muhammad penasaran. Nafisah menjawab, “Khadijah.” Nabi Muhammad bertanya, “Bagaimana saya bisa mendapatkannya?” “Serahkan urusan itu kepadaku,” jawab Nafisah. Nabi Muhammad menanggapi, “Baiklah kalau begitu.” Nafisah segera kembali menemui Khadijah untuk menyampaikan berita gembira ini. (Abdullah Abu Dzikri, Yaumiyyat As-Sirah An-Nabawiyyah Al-Musyarrafah: 1/66-67).
Dalam riwayat lain, Khadijah mengirimkan pesan kepada Nabi Muhammad, “Wahai putra pamanku, sungguh aku telah tertarik kepadamu karena kekerabatanmu, kehormatanmu di tengah kaummu, akhlakmu yang baik, dan tutur katamu yang jujur.” Khadijah kemudian menawarkan dirinya untuk dinikahi Nabi Muhammad.
Pada saat itu, Khadijah berstatus janda. Meskipun demikian, ia adalah wanita Quraisy yang paling mulia nasabnya, paling terhormat kedudukannya, dan paling banyak hartanya. Banyak lelaki terhormat Quraisy ingin menikahinya, bahkan yang melamar itu bukan orang sembarangan. Mereka adalah tokoh bangsawan, pedagang kaya, dan orang-orang terpandang di Makkah. Namun, Khadijah menolak semuanya.
Setelah mendengar keinginan Khadijah, Nabi Muhammad menceritakan hal tersebut kepada paman-pamannya. Beliau mengajak mereka bermusyawarah. Dengan diantar oleh Hamzah bin Abdul Muthallib, Nabi Muhammad akhirnya melamar Khadijah dengan mahar berupa 20 ekor unta muda. Dalam riwayat lain, beliau memberi Khadijah mahar berupa uang sebesar 500 dirham.
Pernikahan pun dilangsungkan dengan meriah di rumah Khadijah dan disaksikan oleh segenap famili dari kedua belah pihak. Di antara famili Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam yang datang mengantarkan adalah Abu Thalib dan Hamzah. Di antara famili Khadijah yang datang dan sebagai wakil orang tuanya adalah Amru bin Asad dan Waraqah bin Naufal. Amru bin Asad inilah yang menjadi wali nikah bagi Khadijah karena saat itu ayah Khadijah, yaitu Khuwailid bin Asad, telah meninggal dunia sebelum berlangsungnya perang Fijar. Segenap pembesar dan pemuda dari Bani Hasyim juga ikut datang meramaikan. (Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, Jilid 1, hlm. 89).
Ketika menikah, Nabi Muhammad berusia 25 tahun. Mengenai usia Khadijah, terdapat perbedaan pendapat di kalangan sejarawan. Ibnu Ishaq menyatakan usianya 28 tahun. Sementara itu, Al-Waqidi menyatakan usianya 40 tahun. Pendapat Al-Waqidi ini merupakan pendapat masyhur di kalangan kaum Muslimin. Dr. Yahya bin Ibrahim Al-Yahya lebih cenderung mengikuti pendapat Ibnu Ishaq (Rasulullah fi Makkah, hlm. 77).
Sebelum menikah dengan Nabi Muhammad, Khadijah pernah dua kali menikah. Pertama, ia menikah dengan ‘Atiq bin ‘A’idz bin Makhzum. Dari pernikahan ini, ia melahirkan seorang anak perempuan bernama Hind binti ‘Atiq. Kedua, ia menikah dengan Abu Halah At-Tamimi. Dari pernikahan ini, ia melahirkan seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, yaitu bernama Hind bin Abu Halah dan Halah binti Abu Halah. Setelah Abu Halah meninggal dunia, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menikahi Khadijah. Dari pernikahan ini, lahirlah empat orang putri beliau, kemudian lahir pula anak-anak laki-laki, yaitu: Al-Qasim, At-Thayyib, dan Ath-Thahir. Namun semua anak laki-laki tersebut wafat saat masih menyusu (bayi). (Dikutip dari Al-Bidayah wa An-Nihayah, jilid 8, hlm. 205–206).
Pelajaran Penting
Ada beberapa pelajaran penting yang bisa dipetik dari rangkaian peristiwa pernikahan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan Sayyidah Khadijah binti Khuwailid Radhiyallahu ‘anha. Pertama: Seorang wanita boleh menawarkan dirinya kepada seorang laki-laki yang berakhlak mulia agar menikahinya. Hal seperti ini bukanlah aib atau celaan bagi kehormatan si wanita, namun merupakan upaya untuk menjaga kemaslahatannya.
Kedua: Dalam memilih pasangan hidup, akhlak dan iman harus menjadi prioritas utama, bukan hanya fisik, status, atau kekayaan. Sayyidah Khadijah memilih Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bukan karena harta atau ketampanan, tetapi karena akhlaknya yang jujur dan amanah. Begitu pula Nabi Muhammad menerima lamaran Khadijah Radhiyallahu ‘anha karena melihat kebaikan hati, kemuliaan, dan kedewasaannya.
Ketiga: Memilih istri sholehah yang mempunyai tekad yang tinggi dan akal yang cerdas dapat membantu seorang laki-laki dalam menjalankan perjuangan dan memikul beban kehidupan.
Keempat: Pernikahan Nabi Muhammad dengan Sayyidah Khadijah merupakan bantahan terhadap para orientalis dan pembenci Islam. Mereka menuduh Nabi Muhammad sebagai orang yang suka menuruti nafsu seksual. Padahal Nabi Muhammad menikah pertama kali di usia 25 tahun dengan Sayyidah Khadijah yang berusia 40 tahun (15 tahun lebih tua). Selama 25 tahun hidup berumah tangga, beliau tidak menikah lagi walaupun Khadijah sudah tua dan tidak lagi subur. Jika Nabi haus nafsu, beliau tentu akan menikah lagi saat muda dan berkuasa, tapi faktanya tidak. Setelah Khadijah wafat, Nabi menikahi beberapa wanita. Tapi pernikahan-pernikahan itu bukan karena haus nafsu, melainkan tugas sosial (menikahi janda shahabat yang gugur), perlindungan politik (menyatukan kabilah), serta adanya hikmah dakwah dan syariah. Wallahu a‘lam.