Oleh: Dr. Muhammad Isa Anshory, M.P.I.
Pada usia 25 tahun, Nabi Muhammad berkesempatan melakukan perjalanan dagang ke negeri Syam. Perjalanan kali ini merupakan pengalamannya yang kedua kali. Tiga belas tahun sebelumnya, yaitu tatkala usianya baru 12 tahun, beliau pernah ikut dalam kafilah dagang Quraisy bersama sang paman, Abu Thalib.
Pada musim semi tahun 596 Masehi, yaitu pada Februari yang bertepatan dengan Syawal 28 tahun sebelum hijrah, para pedagang Makkah kembali mulai menyusun kafilah perdagangan musim panas mereka untuk membawa barang dagangan ke Syam. Khadijah juga sedang menyiapkan barang dagangannya, tetapi ia belum menemukan seseorang untuk menjadi pemimpin kafilahnya. Beberapa nama diusulkan orang, namun tidak satu pun yang berkenan di hatinya.
Mendengar itu, Abu Thalib mendatangi Khadijah dan menawarkan kepadanya keponakannya untuk menjadi agen Khadijah. Abu Thalib sangat yakin bahwa Muhammad lebih dari sekadar mampu. Sebagaimana penduduk Makkah yang lain, Khadijah pun telah mendengar nama Muhammad yang dikenal sebagai orang yang jujur, amanah, dan berakhlak mulia. Khadijah menyetujui tawaran Abu Thalib. Ia bahkan hendak memberi Muhammad imbalan dua kali lipat dari yang biasa diberikan kepada orang lain.
Oleh karena itu, Abu Thalib pulang dengan gembira. Khadijah lalu mengirim orang untuk menyampaikan rencana dagang ke Syam tersebut kepada Muhammad. Segera Muhammad menemui Khadijah yang kemudian menjelaskan tentang seluk beluk perdagangan. Penjelasan itu dipahami dengan baik. Ia pun segera bersiap-siap untuk melakukan perjalanan jauh ke negeri Syam. Khadijah juga mengutus seorang budak laki-laki bernama Maysarah untuk menemani perjalanan Nabi (Moenawar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, Jilid 1, hlm. 83-84).
Tiba di Syam
Berangkatlah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersama Maysarah membawa barang dagangan menuju Syam. Jarak perjalanan ini sekitar 1.240 kilometer. Mereka berangkat dari Makkah pada Kamis 18 Syawal 28 sebelum Hijrah (23 Februari 596 M).
Tiga puluh dua hari berikutnya, yaitu pada Senin 20 Dzulqa‘dah 28 sebelum Hijrah (26 Maret 596 M), mereka berhenti di daerah Bushra, yang letaknya dekat dengan perbatasan negeri Syam. Di sana mereka singgah dekat biara seorang rahib (pendeta). Menurut riwayat, biara itu adalah biara yang sama yang dahulu ditempati oleh pendeta Bahira. Akan tetapi, saat ini yang tinggal di biara tersebut adalah pendeta Nestor. Pendeta Bahira sendiri telah meninggal.
Rasulullah singgah di bawah pohon yang dahulu beliau pernah beristirahat di sana. Dari dalam biara, Nestor memperhatikan beliau dengan seksama. Kemungkinan besar pendeta Bahira pernah menceritakan kepadanya sosok Muhammad yang singgah di bawah pohon tadi 13 tahun sebelumnya. Oleh karenanya, Nestor bisa mengenalinya. Ia pun berkata kepada Maysarah, “Siapa orang ini?” Maysarah menjawab, “Dia adalah seorang laki-laki dari Quraisy penduduk tanah suci.” Lalu pendeta itu berkata, “Tidak ada seorang pun yang duduk di bawah pohon ini kecuali seorang nabi.” (Abdullah Abu Dzikri, Yaumiyyat As-Sirah An-Nabawiyyah Al-Musyarrafah, 1/65-66).
Kembali ke Makkah
Kurang lebih dua bulan berikutnya, yaitu pada Sabtu 22 Muharram 27 sebelum Hijrah (22 Mei 596 M), Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kembali dari Syam. Beliau berhasil membawa keuntungan besar dari perdagangan yang dipercayakan Khadijah kepadanya. Budak Khadijah, Maysarah, menceritakan apa yang dikatakan oleh pendeta Nestor tatkala melihat Muhammad. Maysarah juga menceritakan pengalaman lain yang ia saksikan langsung ketika menemani Nabi Muhammad berdagang ke Syam, yaitu munculnya awan yang selalu menaungi beliau tatkala menunggang onta di bawah sinar matahari selama perjalanan, sifat amanah dan jujur dalam berbicara ketika berdagang, serta tidak pernah bersumpah dengan menyebut nama Lata dan ‘Uzza.
Khadijah pun terkagum-kagum dengan kesaksian Maysarah. Ia merasa seakan menemukan barang berharga yang telah lama hilang. Ia tidak ingin menyia-siakan kesempatan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat dengan Muhammad. Ia yakin tidak akan mendapatkan orang seperti Muhammad ini selamanya. (Yaumiyyat As-Sirah An-Nabawiyyah Al-Musyarrafah, 1/66).
Pelajaran Penting
Ada beberapa pelajaran penting yang bisa dipetik dari rangkaian peristiwa mengenai perjalanan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ke Syam yang kedua kalinya untuk berdagang. Pertama, amanah dan jujur adalah sifat terpenting bagi pedagang yang sukses. Sifat amanah dan jujur dalam berdagang dalam kepribadian Nabi itulah yang menarik Sayyidah Khadijah untuk memberikan barang dagangannya guna diperdagangkan beliau ke Syam. Allah pun memberkahi perdagangannya dan membukakan pintu-pintu kebaikan yang sesuai dengan kemuliaan orang mulia.
Kedua, berdagang adalah salah satu sumber mata pencaharian yang telah diatur oleh Allah untuk Rasul-Nya Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebelum menerima risalah. Rasulullah Muhammad telah terlatih dengan pekerjaannya. Beliau juga menjelaskan bahwa pedagang jujur dan dipercaya dalam agama ini akan dikumpulkan bersama orang-orang shiddiq, para syuhada’, dan para nabi. Profesi ini adalah penting bagi kaum Muslimin karena ia tidak terikat di bawah kehendak orang lain. Dengan berdagang, tidak diperbudak, dipaksa, atau pun dihina mereka. Ia tidak membutuhkan mereka, tetapi merekalah yang membutuhkannya dan membutuhkan pengalamannya, amanahnya, dan kesucian dirinya. (Ali Muhammad Ash-Shallabi, As-Sirah An-Nabawiyah, hlm. 63).
Ketiga, kabar gembira kenabian Muhammad dari kalangan ahli kitab. Orang Yahudi dan orang Nasrani mengetahui bahwa kelak akan muncul seorang nabi yang diutus dengan membawa risalah pamungkas. Mereka mengetahuinya dari kitab mereka yang disampaikan oleh nabi-nabi yang Allah utus kepada mereka. Pendata Nestor adalah seorang ahli kitab. Begitu melihat sosok Muhammad, ia bisa mengenalinya berdasarkan informasi yang ia baca dari kitab yang ada padanya.